Aksi protes pro demokrasi di berbagai negara Arab menyusul mundurnya presiden Tunisia dan Mesir mengakibatkan harga minyak dunia melesat diatas US $104 per barel. Harga yang relative sulit turun mengingat situasi yang makin memanas. Iran berupaya mengirim kapal-kapal angkatan laut ke kawasan Mediterania dan Pemimpin Libya, Muammar Khadafi memerintahkan mengganggu ekspor minyak Libya dengan menghancurkan pipa ke Mediterania.
Tertanggal 23 Februari 2011, Libya menyatakan force majeur dan efektif membatalkan kontrak minyak. Padahal Libya merupakan pemilik cadangan minyak terbesar di Afrika sebesar 42 miliar barel dan menjadi produsen ke empat terbesar di Afrika dengan produksi 1,8 juta barel per hari. Sedangkan Bahrain, Yaman, Aljazair, Libya dan Iran - mewakili sepuluh persen dari produksi minyak mentah dunia,”
Tanpa tragedy dan ketegangan yang meningkat di Timur Tengah dan Afrika Utara, para pengamat dan analis energy sudah memperkirakan trend harga minyak dunia rata-rata ada pada kisaran 90-100 US$ per barel pada tahun 2011. Suatu angka yang mengakibatkan melambatnya laju perekonomian karena mempengaruhi daya saing produk.
Menghadapi ancaman krisis energy, sebetulnya Indonesia sudah sangat siap dengan regulasi, yaitu Peraturan Presiden No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang berisi starategi untuk menjamin keamanan energy di Indonesia. Kebijakan ini telah merumuskan bauran energy di tahun 2025 yang mengurangi konsumsi energy fosil dan menggantinya dengan energy baru terbarukan.
Kebijakan lainnya yaitu UU No.30 Tahun 2007 tentang Energy yang mengarah terwujudnya kemandirian energy. PP no 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi, UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenaga listrikan yang didalamnya juga telah mendorong pengembangan sumber energy terbarukan sebagai penghasil listrik serta Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025.
Kementrian ESDM pun menyiapkan diri menyongsong era baru dengan membentuk dan meresmikan direktorat baru serta melantik Luluk Sumiarso sebagai Direktur Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBT dan KE) pada Selasa , 24 Agustus 2010.
Direktorat baru ini mengusung perubahan paradigma yang semula menyiapkan energy fosil berdasarkan supply (penyediaan) dengan biaya berapapun (bahkan disubsidi) menjadi pengelolaan energy dari segi permintaan. Pengelolaan energy dari segi permintaan berarti mengefisiensikan kebutuhan dan penggunaan energy, memaksimalkan penyediaan dan pemanfaatan energy terbarukan paling tidak dengan harga pada avoided fossil energy cost (menghindari pembiayaan yang berasal dari sumber fosil) dan bila perlu disubsidi.
Sedangkan energy fosil dipakai sebagai faktor penyeimbang setelah penggunaan energy baru terbarukan dimaksimalkan, sehingga sumber energy fosil yang tidak termanfaatkan tersebut dapat digunakan dikemudian hari atau untuk diekspor.
Jelasnya visi pengembangan EBTKE adalah terjaminnya ketersediaan energy bersih untuk memenuhi kebutuhan energy nasional secara efisien dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan.
Salah satu misi EBTKE menyebutkan bahwa pada tahun 2025, energy fosil diproyeksikan berkontribusi hanya 74,2 % dari total konsumsi energy, dengan penggunaan energy dari bahan bakar minyak hanya sekitar 29,7 %. Penggunaan energy baru-terbarukan pada tahun 2025 diproyeksikan meningkat menjadi 25 %.
Kebijaksanaan ini sangat beralasan karena seperti tulisan kompasianer Budi Tjahyono,Indonesia Bukan Lagi Negara Kaya Minyak berdasarkan data proven reserve, data permintaan, data produksi serta data permintaan minyak per tahun dapat disimpulkan bahwa Indonesia bukan lagi net exporter minyak.
Pada tahun 2010, konsumsi bahan bakar total di Indonesia diperkirakan mencapai hampir 2 juta barrel per hari jauh melampaui kapasitas produksi nasional sekitar 1 juta barrel per hari. Sehingga mutlak diperlukan pencarian teknologi yang bisa mendukung terwujudnya ketahanan energy nasional, dengan meminimalkan dampak terhadap lingkungan dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak. Khususnya karena kebutuhan sektor kelistrikan dan sektor transportasi tumbuh dengan cepat.
Dengan landasan pemikiran ini, semakin dirasakan perlunya penggunaan energy baru terbarukan secara bertahap untuk memenuhi kebutuhan energy nasional. Penggunaan energy baru terbarukan selain untuk mengurangi ketergantungan akan sumber energy fosil juga karena tuntutan akan komitmen atas penggunaan energy bersih berdasarkan Protokol Tokyo.
Seberapa banyak potensi Energi Baru Terbarukan yang dapat dimanfaatkan hingga mencapai target bauran Energi 25 % pada tahun 2025, adalah sebagai berikut :
Kebijakan bauran energy yang ditetapkan Dirjen EBTKE, seolah menjawab trilemma masa depan energy yaitu : sustainable (berkelanjutan), affordable (terjangkau) dan secure (aman). Walaupun pada kenyataannya sudah sejak era krisis minyak di akhir tahun 2003 yang memaksa diterbitkannya beberapa kebijakan energy tersebut, Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda ketahanan energy yang kuat.
Indonesia masih memiliki ketergantungan pada BBM yang sangat tinggi. Sektor transportasi belum mendukung efisiensi energy. Belum adanya evaluasi terhadap capaian road map 2025 serta tidak jelasnya penguasaan teknologi sumber energy baru terbarukan.
Padahal dalam Renewables Global Status Report 2010, terlihat bahwa dalam skala global terjadi peningkatan kapasitas yang signifikan yang menggambarkan keberanian banyak Negara mengambil peran dalam menguasai teknologi energy terbarukan. Keberanian tersebut beralasan mengingat trend harga minyak yang terus naik. Sehingga jelas mengindikasikan energy baru terbarukan akan memainkan peran penting dalam waktu yang tidak lama lagi.
Pemerintah perlu memberikan perhatian nyata dalam investasi energy baru terbarukan sehingga tidak hanya sebagai pengguna ketika energy ini memainkan peranannya. Berbagai rangsangan dan kemudahan perlu dibuka agar sektor swasta tertarik masuk ke sektor ini. Memang banyak dari sumber energy tersebut belum menemui harga keekonomiannya, karena harga minyak masih lebih kompetitif. Tapi saat ini merupakan saat tertepat untuk memulai agar Indonesia tidak terlambat dan hanya masuk sebagai good user seperti cerita minyak.
Investasi teknologi adalah suatu keniscayaan agar Indonesia mampu memiliki kemandirian energy. Peluang besar terbuka di sektor energi terbarukan seperti Sel Surya, Geothermal, Mikrohidro, Bioenergi ataupun angin. Pastinya kita akan sangat bangga melihat anak bangsa memasang pembangkit panas bumi atau produk energy baru terbarukan lainnya di Amerika Serikat, Eropa atau negeri lainnya. Sesudah sekian lama ladang minyak dalam negeri justru dikelola oleh Chevron, Exxon, Petrochina dan lainnya. Sedangkan sebagai pemilik, anak bangsa Indonesia hanya menjadi buruh yang bekerja di garda depan menantang maut, atau yang lebih miris sebagai penduduk diluar tembok yang mengais sisa-sisa eksplorasi kekayaan alamnya sendiri.
data dan gambar : - dari berbagai sumber
- Majalah Energi November 2010
Tertanggal 23 Februari 2011, Libya menyatakan force majeur dan efektif membatalkan kontrak minyak. Padahal Libya merupakan pemilik cadangan minyak terbesar di Afrika sebesar 42 miliar barel dan menjadi produsen ke empat terbesar di Afrika dengan produksi 1,8 juta barel per hari. Sedangkan Bahrain, Yaman, Aljazair, Libya dan Iran - mewakili sepuluh persen dari produksi minyak mentah dunia,”
Tanpa tragedy dan ketegangan yang meningkat di Timur Tengah dan Afrika Utara, para pengamat dan analis energy sudah memperkirakan trend harga minyak dunia rata-rata ada pada kisaran 90-100 US$ per barel pada tahun 2011. Suatu angka yang mengakibatkan melambatnya laju perekonomian karena mempengaruhi daya saing produk.
Menghadapi ancaman krisis energy, sebetulnya Indonesia sudah sangat siap dengan regulasi, yaitu Peraturan Presiden No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang berisi starategi untuk menjamin keamanan energy di Indonesia. Kebijakan ini telah merumuskan bauran energy di tahun 2025 yang mengurangi konsumsi energy fosil dan menggantinya dengan energy baru terbarukan.
Kebijakan lainnya yaitu UU No.30 Tahun 2007 tentang Energy yang mengarah terwujudnya kemandirian energy. PP no 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi, UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenaga listrikan yang didalamnya juga telah mendorong pengembangan sumber energy terbarukan sebagai penghasil listrik serta Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025.
Kementrian ESDM pun menyiapkan diri menyongsong era baru dengan membentuk dan meresmikan direktorat baru serta melantik Luluk Sumiarso sebagai Direktur Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBT dan KE) pada Selasa , 24 Agustus 2010.
Direktorat baru ini mengusung perubahan paradigma yang semula menyiapkan energy fosil berdasarkan supply (penyediaan) dengan biaya berapapun (bahkan disubsidi) menjadi pengelolaan energy dari segi permintaan. Pengelolaan energy dari segi permintaan berarti mengefisiensikan kebutuhan dan penggunaan energy, memaksimalkan penyediaan dan pemanfaatan energy terbarukan paling tidak dengan harga pada avoided fossil energy cost (menghindari pembiayaan yang berasal dari sumber fosil) dan bila perlu disubsidi.
Sedangkan energy fosil dipakai sebagai faktor penyeimbang setelah penggunaan energy baru terbarukan dimaksimalkan, sehingga sumber energy fosil yang tidak termanfaatkan tersebut dapat digunakan dikemudian hari atau untuk diekspor.
Jelasnya visi pengembangan EBTKE adalah terjaminnya ketersediaan energy bersih untuk memenuhi kebutuhan energy nasional secara efisien dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan.
Salah satu misi EBTKE menyebutkan bahwa pada tahun 2025, energy fosil diproyeksikan berkontribusi hanya 74,2 % dari total konsumsi energy, dengan penggunaan energy dari bahan bakar minyak hanya sekitar 29,7 %. Penggunaan energy baru-terbarukan pada tahun 2025 diproyeksikan meningkat menjadi 25 %.
Kebijaksanaan ini sangat beralasan karena seperti tulisan kompasianer Budi Tjahyono,Indonesia Bukan Lagi Negara Kaya Minyak berdasarkan data proven reserve, data permintaan, data produksi serta data permintaan minyak per tahun dapat disimpulkan bahwa Indonesia bukan lagi net exporter minyak.
Pada tahun 2010, konsumsi bahan bakar total di Indonesia diperkirakan mencapai hampir 2 juta barrel per hari jauh melampaui kapasitas produksi nasional sekitar 1 juta barrel per hari. Sehingga mutlak diperlukan pencarian teknologi yang bisa mendukung terwujudnya ketahanan energy nasional, dengan meminimalkan dampak terhadap lingkungan dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak. Khususnya karena kebutuhan sektor kelistrikan dan sektor transportasi tumbuh dengan cepat.
Dengan landasan pemikiran ini, semakin dirasakan perlunya penggunaan energy baru terbarukan secara bertahap untuk memenuhi kebutuhan energy nasional. Penggunaan energy baru terbarukan selain untuk mengurangi ketergantungan akan sumber energy fosil juga karena tuntutan akan komitmen atas penggunaan energy bersih berdasarkan Protokol Tokyo.
Seberapa banyak potensi Energi Baru Terbarukan yang dapat dimanfaatkan hingga mencapai target bauran Energi 25 % pada tahun 2025, adalah sebagai berikut :
- Energi Panas Bumi (geothermal) : Menurut Nenny Miryani Saptadji (pengajar ITB ;LPPM ITB), Indonesia mempunyai potensi panas bumi sangat besar, 30-40 % potensi sumberdaya panas bumi dunia, tersebar di kepulauan Indonesia. Potensi sumberdaya dan cadangan panas bumi Indonesia diperkirakan sebesar 28.170 MW. Cadangan diperkirakan setara dengan 14.730 MW terdiri dari cadangan terbukti 2.288 MW, cadangan mungkin 1.050 MW dan cadangan terduga 11.392 MW. Pada tahun 2025 ditargetkan pemanfaatan energy panas bumi sebesar 9.500 MW.
- Energi surya: Menurut data ESDM , potensi energy surya di Indonesia adalah 4,8 kWh/hari. Sedangkan menurut penelitian BBPT yang dilakukan di Sulawesi Tenggara, didapat energy harian antara 2 sampai 7 kWh per meter persegi per hari dengan rata-rata harian 5,16kWh per meter persegi per harinya. Jika diproyeksikan 10 % dari luas daratan Indonesia (sekitar 192.257 kilometer persegi) dipasang sel surya yang memiliki efisiensi 15 %, maka daya yang dapat dibangkitkan adalah 30.000 GWh per hari. Merupakan 30 % dari kebutuhan energy nasional pada tahun 2010 (100.000 GWh) atau 6 % proyeksi kebutuhan tahun 2025 yaitu sebesar 500.000 GWh.
- Energi hidro : Menurut data ESDM, potensi hidro yang ada di Indonesia untuk skala besar teridentifikasi 75 GW dengan kapasitas terpasang 57 GW atau hanya termanfaatkan 7,54 %. Sedangkan untuk energy hidro skala kecil, Indonesia mempunyai potensi sebesar 769,7 MW dan baru dimanfaatkan sebesar 217,7 MW atau sekitar 28,31 %. Direncanakan pada tahun 2025 pemanfaatan mikrohidro sebesar 950 MW.
- Energi angin : Lokasi yang paling potensial adalah Indonesia bagian timur dengan rata-rata kecepatan angin sebesar 7 m/s. Diproyeksikan pada tahun 2025 pemanfaatan energy angin sebesar 275 MWp.
- Energi laut : Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar, khususnya Indonesia bagian timur yaitu sekitar 1.650 MW.
- Energi Nuklir : Diantara pro dan kontra, energy nuklir dinilai merupakan salah satu solusi karena tingkat emisi CO2nya yang rendah yaitu sebesar 25 gram CO2/kwh. Menurut skenario EBTKE, pada tahun 2025 energi nuklir menyumbangkan energy sebesar 55,8 juta SBM (Setara Barrel Minyak)
Kebijakan bauran energy yang ditetapkan Dirjen EBTKE, seolah menjawab trilemma masa depan energy yaitu : sustainable (berkelanjutan), affordable (terjangkau) dan secure (aman). Walaupun pada kenyataannya sudah sejak era krisis minyak di akhir tahun 2003 yang memaksa diterbitkannya beberapa kebijakan energy tersebut, Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda ketahanan energy yang kuat.
Indonesia masih memiliki ketergantungan pada BBM yang sangat tinggi. Sektor transportasi belum mendukung efisiensi energy. Belum adanya evaluasi terhadap capaian road map 2025 serta tidak jelasnya penguasaan teknologi sumber energy baru terbarukan.
Padahal dalam Renewables Global Status Report 2010, terlihat bahwa dalam skala global terjadi peningkatan kapasitas yang signifikan yang menggambarkan keberanian banyak Negara mengambil peran dalam menguasai teknologi energy terbarukan. Keberanian tersebut beralasan mengingat trend harga minyak yang terus naik. Sehingga jelas mengindikasikan energy baru terbarukan akan memainkan peran penting dalam waktu yang tidak lama lagi.
Pemerintah perlu memberikan perhatian nyata dalam investasi energy baru terbarukan sehingga tidak hanya sebagai pengguna ketika energy ini memainkan peranannya. Berbagai rangsangan dan kemudahan perlu dibuka agar sektor swasta tertarik masuk ke sektor ini. Memang banyak dari sumber energy tersebut belum menemui harga keekonomiannya, karena harga minyak masih lebih kompetitif. Tapi saat ini merupakan saat tertepat untuk memulai agar Indonesia tidak terlambat dan hanya masuk sebagai good user seperti cerita minyak.
Investasi teknologi adalah suatu keniscayaan agar Indonesia mampu memiliki kemandirian energy. Peluang besar terbuka di sektor energi terbarukan seperti Sel Surya, Geothermal, Mikrohidro, Bioenergi ataupun angin. Pastinya kita akan sangat bangga melihat anak bangsa memasang pembangkit panas bumi atau produk energy baru terbarukan lainnya di Amerika Serikat, Eropa atau negeri lainnya. Sesudah sekian lama ladang minyak dalam negeri justru dikelola oleh Chevron, Exxon, Petrochina dan lainnya. Sedangkan sebagai pemilik, anak bangsa Indonesia hanya menjadi buruh yang bekerja di garda depan menantang maut, atau yang lebih miris sebagai penduduk diluar tembok yang mengais sisa-sisa eksplorasi kekayaan alamnya sendiri.
data dan gambar : - dari berbagai sumber
- Majalah Energi November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar